JAKARTA | duta.co – Para pendukung Ahok dinilai sudah keterlaluan. Bukan saja mengganggu libur Waisak dengan terus berdemo hingga dibubarkan polisi,  para hacker pro-Ahok juga menyerang situs pemerintah dan website media. Selain laman PN Jakarta dan Tempo.co, situs Pengadilan Negeri Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, juga diretas pada Kamis 11 Mei 2017 dini hari. Dalam situs tersebut muncul foto Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang disertai dengan pesan berbahasa Inggris.

Isinya memprotes vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yang menjatuhkan hukuman ua tahun penjara kepada Ahok.

HACKED BY KONSLET & Achon666ju5t

Give his all to this country guilty and sentenced 2 years in jail.

Simple explanation: they didn’t know the difference between “eat with spoon” and “eat spoon”. they claimed both are same meaning, and made this governor guilty. the end. #RIP Justice In My Country”.

“Mereka tidak tahu perbedaan antara “makan pakai sendok” dan “makan sendok”. Mereka mengklaim, kedua kalimat tersebut bermakna sama, dan membuat gubernur ini bersalah. #RIP Keadilan di Negaraku,” begitu artinya.

Ini bukan pertama kali peretas mengacak-acak situs-situs pemerintah. Pada 5 Mei lalu, situs resmi Pemerintahan Kota Semarang, Jawa Tengah, www.semarangkota.go.id, juga diretas. Masih terkait Ahok, laman PN Jakarta juga diserang dengan pesan yang hampir sama.

Pertengahan Desember 2015, website laman Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (Setkab.go.id) menjadi korban para Anonymous atau kelompok aktivis (Hacktivis). Selang beberapa hari setelah website Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (Setkab.go.id) diretas hacker, pada 26 Desember 2015 website milik Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) turut dibobol.

Situs resmi Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yaitu http://www.presidensby.info juga pernah diretas oleh hacker yang mengatasnamakan Jember Hacker Team.

Peristiwa tersebut terjadi pada awal 2013. Hacker tersebut mengubah tampilan website yang biasanya menyajikan informasi tentang kegiatan  SBY, menjadi  latar belakang hitam dan terdapat tulisan pada bagian atas yang berbunyi “Hacked by MJL007”. Belakang diketahui pelaku peretas adalah seorang pemuda bernama Wildan Yani Anshari dan langsung ditangkap oleh kepolisian.

Penangkapan Wildan ini memunculkan aksi protes dari kelompok hacker internasional yang sangat terkenal, yaitu Anonymous. Mereka menyatakan perang terhadap pemerintah Indonesia dan mulai melakukan peretasan terhadap situs-situs milik Pemerintah.

Setidaknya ada tujuh situs pemerintah yang ditumbangkan oleh kelompok tersebut. Kelompok Anonymous memberikan pesan peringatan di akun Twitternya terhadap pemerintah Indonesia yang berbunyi “Government of Indonesia, you cannot arrest an idea NO ARMY CAN STOP US #Anonymous #OpFreeWildan #FreeAnon.

Bentuk Protes Masyarakat

Kegiatan hacktivis kini semakin meningkat di tanah air. Kegiatan peretasan dengan motif politik dan menyuarakan pendapat mereka pun semakin terang-terangan dilakukan.

Peretasan terhadap situs-situs pemerintah merupakan bentuk kekecewaan dan perlawanan para hacker terhadap pemerintah. Dalam kasus Ahok, mereka turut menyuarakan ketidakadilan penegakan hukum.

Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, menilai peretasan terhadap situs Pengadilan Negeri Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, adalah sebagian bagian protes kritis masyarakat terhadap ketidakadilan penegakan hukum yang absurd.

“Karena itu saya mendukung protes itu selama tidak melawan hukum. Karena itu ekspresi spontan yang harus dimaklumi atas kekecewaan,” ucapnya di Jakarta, Kamis 11 Mei 2017.

Meski demikian, ia menyatakan aksi protes seperti itu tidak akan mengubah putusan majelis hakim atas Ahok. Namun, hal itu menurutnya mampu memberi pengaruh terhadap publik dan lembaga peradilan.

“Bahwa kemudian itu memengaruhi putusan hakim itu suatu keniscayaan. Karena course of justice (jalan keadilan) itu juga harus menakar keadilan yang dirasakan masyarakat, tetapi dengan indikator yang rasional, profesional dan objektif,” ucapnya.

Menurut Ismail, publik tidak puas dengan putusan hakim karena majelis hakim menerapkan standar ganda. Karena hakim mengatakan Ahok menebarkan kekacauan di publik gara-gara pernyataannya, tetapi di sisi lain hakim meniadakan keterkaitan politik terhadap kasus Ahok.

“Kasus Ahok ini kasus dengan tekanan massa terbesar dari 97 kasus yang kita periksa. Karena di belakang ada kontestasi politik, menurut saya sulit dipahami saat hakim mengatakan tidak ada kaitan dengan pilkada. Ini pengingkaran yang terbuka,” ujar Ismail.

Oleh sebab itu, menurutnya, para peretas ingin menyuarakan kekecewaan terhadap proses peradilan Indonesia. “Ini sebagai bagian proses atas ketidakadilan dan tidak profesionalnya institusi pengadilan. Jadi bukan pembela Ahok, saya kira itu,” katanya seperti dikutip dari vivanews.co.id. * vvn, hud

Bagaimana Reaksi Anda?
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry